Perjuangan Tuanku Imam Bonjol .Imam Bonjol adalah salah seorang pejuang nasional yang ikut serta untuk memperjuangkan negri ini dari penjajahan belanda. ia di kenal sebagai tokoh padri didaerah minang kabau, kegigihan dan keberanian juga membawa kegentaran dan kekhawatiran bagi pasukan belanda, maka segala bentuk upaya di lakukan bagai mana menjatuhkan Tuanku Imam Bonjol. nah bagaimana Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam menghadapi Belanda...??? yuk kita ikuti tulisan Lentera dibawah ini...
Setelah berakhirnya perang
Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda
kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh
keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan
pedalaman Minangkabau [darek]. Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi
merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin
menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika
perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada
satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan
kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya
dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang
mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat
kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama
Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831
Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali
Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan
Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai
serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan
kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan
Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah
Hindia-Belanda sesudah usai perang di Jawa.
Namun kemudian Letnan Kolonel
Elout berpendapat, kehadiran Sentot yangditempatkan di Lintau justru
menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan
kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga
kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga
tak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun
juga tak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera.
Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu
ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan
kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yang
diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari
Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian
peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak
Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya
Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di
Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan
Belanda sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum
Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda
mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum
Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di
Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan
tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang
mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dalam pertempuran di Air
Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat
dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum
lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya
kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Lamanya penyelesaian peperangan
ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada
tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi
militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan
perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz danLetnan Kolonel Elout untuk segera
menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan
bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap
Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan
mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van
den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat
tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari
sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang
diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan
Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat
dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat
di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den
Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan
untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834
Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol
dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak
Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang
dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan
untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan
sekitarnya.
Operasi militer dimulai pada
tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer,
memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing
dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu
tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki
gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835
gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang,
kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu
jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan
Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti,
sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh
tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan
rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan
Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu
pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan
Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan
untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan
Panjang ialah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum
Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah
ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak
menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan disana,
sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil
mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam
tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan.
Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda
menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan menembakkan
meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang
menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835
kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh
Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang
besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng
Bonjol di Bukit Tajadi.
Melihat kokohnya Benteng
Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan maksud
untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang
dilakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan
Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri
secara gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan
dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai
negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan
markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati
syahid.
Usaha untuk melakukan serangan
ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali sesudah bala bantuan tentara yang
terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835
penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang
berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan
Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang
berada disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan
Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September
1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi.
Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam
Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835,
pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus,
namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda.
Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit
dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor
Prager. Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan
semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan
Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati
mengangkat senjata lalu menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda
kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun sesudah datang bantuan dari
serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat
diatasi.
Hampir setahun mengepung
Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan
serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk
penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol,
sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa
keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang
tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda
terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak
sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini
benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yang
waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal
tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal
Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk
kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yang
memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan
intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan [16
Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan
gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis
dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara
Eropa, 4. 130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen
hieronder begrepen [pasukan pembantu Sumenap alias Madura].
Dalam daftar nama para perwira
pasukan Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor Jendral Cochius, Letnan
Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der
Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama
Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant
Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto,
Merto Poero dan lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus
tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan
Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika
yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari
1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein
Sinninghe. Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari
pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6
bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan.
Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh
Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi
sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837,
Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara
keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri
keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju
daerah Marapak.
Dalam pelarian dan
persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi
terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena
telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata
hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Dalam
kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di
Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan
kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih
dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan
senjata berlaku.
Tuanku Imam Bonjol diminta
untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal
itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu
terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi
sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk
selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke
Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian
pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado,
dan di daerah inilah sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya,
pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas
terakhirnya.
Penangkapan Tuanku Imam Bonjol
Meskipun pada tahun 1837Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan
ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu [Rokan Hulu], yang waktu itu telah dipimpin
oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut
memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri
Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai
kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica dan
wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah
Hindia-Belanda.
Sikap
Patriotisme Kepahlawanan
Pengaruh dari peperangan ini
menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang
terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun
sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913,
beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan
dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas
kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di
Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan
beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Terima kasih atas kunjungan nya, Untuk Melihat Artikel lainnya,
Silahkan Lihat Daftar Isi
Silahkan Lihat Daftar Isi
Lanterna Life

Author by : Edi Murfin. Jumat, 26 Juni 2015
Description : Perjuangan Tuanku Imam Bonjol .Imam Bonjol adalah salah seorang pejuang nasional yang ikut serta untuk memperjuangkan negri ini dari pen...
Mari Bantu Membagikan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol ini. Melalui Sosial Media Dibawah, Insya Allah akan membawa Baraqah bagi kita semua. Aamiin YRA
http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/04/10-kalimat-dari-pria-ini-berarti-ia.html
BalasHapushttp://taipanqqculinary.blogspot.com/2018/04/makan-pasta-justru-bisa-bikin-kurus.html
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!